Forum Pascasarjana IPB University, melalui Departemen Lingkungan Hidup dan Agromaritim mengadakan dialog interaktif yang menarik perhatian publik dengan tema “Bencana Pertambangan di Pulau Kecil”. Acara ini berlangsung di Hopes Kopi, Jalan Raya Cifor N o. 1, Dramaga, Bogor, dan dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. Narasumber utama adalah Dr. Abdul Mutalib Angkotasan, S.Pi., M.Si, seorang akademisi dari Universitas Khairun Ternate yang pernah menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dialog ini menjadi platform penting bagi mahasiswa untuk menganalisis dan bertukar gagasan tentang dampak ekologis dari pertambangan di pulau-pulau kecil Indonesia. Topik ini semakin relevan dengan meningkatnya aktivitas ekstraksi sumber daya alam di wilayah kepulauan yang rentan secara ekologis. Melalui diskusi ini, diharapkan tercipta pemahaman yang lebih mendalam tentang interaksi antara kegiatan pertambangan dan keberlanjutan ekosistem pulau.
Dalam penjelasannya, Dr. Abdul Mutalib Angkotasan, S.Pi., M.Si menegaskan bahwa kegiatan pertambangan dapat membahayakan kondisi fisik pulau kecil. Terlihat dari dampak lingungan akibat kegiatan pertambangan yang sungguh memprihatinkan. Pencemaran air laut dari sedimentasi tambang mengubah warna laut menjadi coklat. Lebih dari itu, hilangnya vegetasi, erosi tanah, pencemaran air, dan risiko hilangnya keanekaragaman hayati.
Dampak sosial dan budaya juga sangat signifikan. Masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian mereka, terutama dari aktivitas perikanan tradisional seperti Bameti. Bameti adalah istilah di Maluku untuk kegiatan memungut hasil laut seperti kerang dan biota lainnya saat air laut surut. Aktivitas ini biasanya dilakukan oleh wanita untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Dengan matinya terumbu karang dan lamun, aktivitas Bameti pun terancam hilang. Ini berdampak pada ekonomi masyarakat yang terganggu, meningkatnya kemiskinan, dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kasus stunting.
Selain dampak-dampak yang telah diidentifikasi sebelumnya, fenomena penurunan permukaan tanah atau land subsidence muncul sebagai konsekuensi serius lainnya dari degradasi ekologi pulau akibat aktivitas pertambangan dan eksploitasi berlebihan. Penurunan permukaan tanah tidak hanya mengancam integritas fisik pulau-pulau kecil, tetapi juga berpotensi mempercepat erosi pantai, meningkatkan risiko banjir, dan mengubah hidrodinamika pesisir secara fundamental. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan untuk melindungi pulau-pulau kecil dari kerusakan lebih lanjut.
Meskipun pemerintah telah menetapkan kerangka hukum untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui UU Nomor 27 Tahun 2007 dan revisinya UU Nomor 1 Tahun 2014, implementasi dan penegakan regulasi ini masih menghadapi tantangan besar. Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tambang menunjukkan adanya kesenjangan antara aturan dan praktik di lapangan. Hal ini mengungkap kelemahan sistemik dalam penegakan hukum dan pengawasan terhadap aktivitas ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Upaya pengelolaan berkelanjutan menghadapi beberapa hambatan struktural yang signifikan. Pertama, maraknya pertambangan ilegal menjadi ancaman serius bagi upaya pengelolaan lingkungan yang terencana dan sistematis. Kedua, dinamika politik sering kali lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek daripada keberlanjutan ekologis, yang dapat mengancam integritas ekosistem pesisir. Ketiga, lemahnya penegakan hukum menciptakan iklim impunitas, memungkinkan pelanggaran regulasi lingkungan tanpa konsekuensi yang setimpal.
Kompleksitas permasalahan ini mengindikasikan kebutuhan akan pendekatan multi-pihak dalam reformasi kebijakan lingkungan. Diperlukan strategi yang tidak hanya berfokus pada penguatan kerangka hukum dan mekanisme penegakannya, tetapi juga pada transformasi struktural dalam tata kelola sumber daya alam. Ini mencakup upaya sistematis untuk memberantas pertambangan ilegal, reformasi sistem politik untuk mengurangi pengaruh oligarki, serta penguatan kapasitas institusional dalam penegakan hukum.
Kontribusi masyarakat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan lingkungan sering kali terhambat oleh praktik politik uang dan pembungkaman dialog politik oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Situasi ini mencerminkan betapa kompleksnya tantangan dalam mewujudkan tata kelola lingkungan yang partisipatif dan transparan. Interaksi antara faktor-faktor seperti pertambangan ilegal, politik oligarki, dan lemahnya penegakan hukum semakin mempersulit upaya pemberdayaan masyarakat dalam isu-isu lingkungan.
Dari isu penambangan ilegal di wilayah pulau mengarah pada tiga poin penting. Pertama, perlunya penguatan penegakan peraturan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K) dalam menindaklanjuti pelanggaran-pelanggaran eksploitasi wilayah pesisir. Kedua, keterlibatan masyarakat dalam menjaga pengelolaan sumber daya pesisir masih perlu diperluas. Ketiga, peluang eksploitasi pertambangan masih sangat besar, yang mengindikasikan perlunya pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat.
Add a Comment