Oleh: Samsul Rumasoreng
Prodi S2 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan – IPB
Peserta Magang Dep. KSA FW IPB Kabinet Integritas
Tanah memang memiliki nilai yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal dan sumber kehidupan, tetapi juga memiliki nilai filosofis, sosial, kultural, dan ekologis. Dalam konteks Pulau Rempang, tanah juga menjadi simbol identitas dan warisan budaya masyarakat adat. Konflik yang terjadi di Pulau Rempang adalah gambaran nyata dari tantangan yang dihadapi oleh banyak masyarakat adat di seluruh Indonesia. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk pembangunan dan modernisasi yang sering kali membutuhkan penggunaan lahan dan sumber daya alam. Di sisi lain, ada hak asasi manusia dan hak komunal masyarakat adat yang harus dihormati dan dilindungi.
Pada dasarnya, konflik Rempang juga disebut sebagai konflik struktural, yang timbul sebagai akibat dari keputusan pejabat pemerintah pada suatu korporasi yang dampaknya menimbulkan konflik dengan warga masyarakat. Hal ini menunjukkan adanya konflik relasi sebagai dampak komunikasi satu arah tanpa pelibatan masyarakat terkait rencana proyek dan relokasi (Prof. Maria Sumardjono, 20023). Konflik Rempang, seperti yang dijelaskan oleh Prof. Maria Sumardjono, adalah contoh nyata dari bagaimana pembangunan bisa berpotensi bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, pembangunan sering kali dipandang sebagai kebutuhan kolektif, sementara hak asasi manusia dipandang sebagai hak individu. Konflik ini mencerminkan benturan antara dua kepentingan: benturan antara Hak Menguasai Negara (HMN) dan Hak Asasi Manusia (HAM) ini memang sering kali menjadi akar masalah dalam banyak konflik agraria. Negara memiliki kewenangan untuk mengelola pembagian, penguasaan, pemanfaatan, dan peruntukkan tanah, namun hal ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan hak-hak asasi warga negara, termasuk hak milik individu dan hak komunal seperti tanah ulayat.
Konflik agraria di Rempang bukanlah kasus yang terisolasi. Di berbagai daerah di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara kepentingan pembangunan dan HAM. Pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada investor dan pemilik modal, sering kali mengorbankan hak-hak masyarakat, terutama petani/nelayan dan masyarakat adat, atas tanah dan sumber daya alam. Akibatnya, banyak masyarakat yang mengalami pemiskinan, penggusuran, dan kekerasan akibat sengketa lahan. Padahal, amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Amanat tersebut mengisyaratkan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan kemakmuran bagi rakyatnya dengan melakukan pengelolaan sumber daya yang dimilikinya secara adil. Namun, kenyataannya, negara sering kali gagal dalam menjalankan amanat tersebut. Amanat tersebut tampaknya saat ini semakin jauh untuk terpenuhi sebagaimana yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Sebuah paradoks atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, padahal pemerintah abai dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakatnya.
Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menyelesaikan konflik agraria dengan cara yang adil, demokratis, dan berkeadilan. Negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka. Negara juga harus melakukan reformasi agraria untuk menata kembali struktur penguasaan tanah yang timpang dan menciptakan distribusi tanah yang lebih merata. Pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan HAM, melainkan harus berdasarkan pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Transparansi yang dimaksud adalah sosialisasi harus dilakukan secara jujur untuk menyampaikan dampak positif dampak negatif kepada masyarakat (Prof. Maria Sumardjono, 20023). Hanya dengan begitu, pembangunan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya yang mana ada kegagalan dalam mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari proyek tersebut terhadap masyarakat setempat. Komunikasi satu arah dan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan menunjukkan kurangnya transparansi dan partisipasi publik.
Pendekatan holistik yang mencakup aspek politik, sosial budaya, ekonomi (kesejahteraan), dan ekologi diperlukan untuk menyelesaikan konflik ini. Solusi yang hanya berfokus pada aspek hukum saja tidak akan cukup. Harus ada dialog dan negosiasi yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat adat, pemerintah, dan pihak swasta. Pada akhirnya, keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan hak asasi manusia harus dicapai. Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang keadilan sosial dan pelestarian lingkungan hidup. Masyarakat adat seperti di Pulau Rempang memiliki hak untuk melindungi tanah dan budaya mereka, dan ini harus menjadi bagian penting dari setiap rencana pembangunan.
Untuk itu, diperlukan solusi yang adil dan berkeadilan. Solusi tersebut harus mempertimbangkan kedua kepentingan tersebut. Pembangunan harus dilakukan dengan cara yang menghormati hak asasi manusia dan hak komunal masyarakat adat. Di sisi lain, masyarakat adat juga harus dapat memahami dan mendukung upaya pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama. Dalam konteks Pulau Rempang, solusi idealnya adalah dialog dan negosiasi antara pemerintah, masyarakat adat, dan pihak-pihak lain yang terlibat. Melalui dialog dan negosiasi ini, diharapkan dapat dicapai kesepakatan yang menghormati hak-hak masyarakat adat sekaligus mendukung upaya pembangunan. []
Add a Comment